Pages

Thursday, September 18, 2014

AIR MATA CAPLIN




          Hari ini adalah hari Jum’at. Sekilas tidak ada yang istimewa di hari ini. Cuaca yang cerah, menambah semangatku untuk pergi ke sekolah. Meskipun dalam lubuk hati yang paling dalam aku merasa bahwa hari ini akan ada hal sial yang menimpaku. Hal itu, selain adanya ulangan matematika yang dijadwalkan hari ini. Dan pada hari ini juga, aku ditugaskan untuk memberikan materi pramuka pada teman sebayaku di kelas IIS 3, karena aku merupakan salah satu anggota Jawara. Jawara adalah sebuah organisasi yang merupakan gabungan dari PMR Wira dan Pramuka. Entah mengapa, aku punya keminderan tersendiri untuk bisa tampil di depan umum. Salah satunya ya.. memberikan materi. Traumaku saat SMP, sampai saat ini masih membekas dan masih belum bisa hilang. Jadi, untuk tampil di depan umum aku merasa tidak bisa leluasa dan selalu gugup. Padahal, salah satu tujuanku mengikuti Jawara adalah belajar bagaimana untuk percaya diri tampil di depan umum.
Sekitar pukul 05.45 WIB, aku berangkat ke sekolah seperti biasa diantar ibuku. Untuk mengatasi kegugupan dan keminderanku, dalam perjalanan menuju ke sekolah, aku membaca buku tentang materi yang akan kusampaikan nanti. Tak lupa, aku juga menghafalkan rumus – rumus matematika. Aduuuhh… lagi – lagi bikin pusing!
Tak lama kemudian, akhirnya aku sampai di sekolah. Aku berpamitan pada ibuku dan meminta doanya agar aku diberikan kelancaran dalam ulangan matematika ini. Saat aku tiba di sekolah,suasana di sekolah masih sangat sepi. Aku masih tetap melanjutkan membacaku sambil berjalan menuju gerbang sekolah.
Sekitar pukul 06.45 kelas pun dimulai. Kelas hari ini diawali dengan Bimbingan Konseling. Kelas berjalan seperti biasanya. Salah satu temanku di kelas, namanya Arif. Tapi dia sering dipanggil Caplin. Dia itu sedikit lebay dan kocak.
“Eh, teman – teman bantu aku dong. Aku mau ikut lomba nihh.. kalian gak kasihan sama aku? ” , kata Caplin.
“ Ahh… kamu ini lebay banget sihh..”, kata salah satu temanku.
Pada saat istirahat, kami para anggota Jawara, aku, Caplin dan Ike berkumpul untuk breaving ekstra pramuka nanti.
“ Dek ini absensinya. Nanti tanggalnya diisi disini. Nanti kalau sudah bel pulang langsung menuju ke kelas yang ditentukan ya..”, kata Kak Sugita selaku koordinator pada ekstra pramuka hari ini.
“ Kak nanti saya jam terakhir ada ulangan matematika. Nanti takutnya tergesa – gesa,” sahutku.
“ Ya gini aja dek. Kamu jadi wali kelas sama siapa aja?”
          “ Sama Wahyu kak,”
“ Ya udah absensinya kasihkan ke Wahyu aja,”
Setelah breaving, kami langsung kembali kelas.
“ Plin ayo kembali ke kelas!” pintaku pada Caplin.
“ Ayo,” jawabnya
Dan kami pun kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran seperti semula. Dan ulangan matematika dimulai. Ini merupakan ulangan yang pertama. Pada ulangan ini, aku mengerjakan sebisanya. Karena kau sudah berjanji untuk nggak nyontek lagi. Ulangan belum usai, namun teman – temanku anggota Jawara yang lain  sudah berkumpul di depan kelasku. Ini membuatku semakin panik. Karena waktunya pendek, akhirnya untuk ulangan matematika ini, bagi yang belum selesai bisa dilanjutkan minggu depan. Alhamdulillah...
Aku langsung bergegas menuju ke kelas IIS 3. Di parkiran belakang kelas, kakak – kakak seniorku menghadang teman – temanku yang mau kabur dari ekstra pramuka.
“ Ya ampun. Aku gak bakalan mau lagi kalau disuruh jadi wali kelas anak IIS,” kataku.
“ Aku juga gak bakalan mau kalau suruh jadi wali kelas di kelas IIS. Aduh, tobat aku,” sahut Wahyu, temanku.
Teman – temanku di kelas IIS memang terkenal sangat bandel banget. Cuma ngatur bangku aja, buat ngisi bangku anak laki - laki yang kosong, memakan waktu 30 menit. Ya ampun, tobat deh kalau mengajar anak kelas IIS…
Setelah bangkunya tertata, tak lama kemudian, waktunya bagi anak laki-laki melaksanakan sholat Jum’at. Sedangkan aku, sendiri memimpin kelas. Karena, temanku Wahyu harus melaksanakan sholat Jum’at. Aku memimpin teman – temanku untuk mengaji. Setelah mengaji, aku diberikan intruksi untuk mengecek kerapian.
“ Dek, habis ngaji cek kerapian ya,? Yang dicek ikat pinggang, asduk, kaus kaki, sama sepatu,” kata Kak Sugita .
“ Iya kak,” jawabku.
Aku langsung mengecek kerapian. Aku mencatat beberapa anak yang ku anggap melanggar. Seperti memakai sepatu ada putihnya dan kaus kaki pendek. Setelah cek kerapian, ishoma selama 15 menit. Dan aku menanyakan hal itu kepada seniorku, Kak Kholif. Ternyata, langkah yang kuambil kurang tepat.
“ Kak, kalau pake sepatu ada putihnya gimana? Terus kaus kakinya pendek gimana? Dicatat apa nggak?”
“ Putih gimana dek? Kayak gini? Ya nggak usah lah Adek. Kalau kamu  catat kamu malah kena sendiri. Sepatumu lo talinya putih. Nggak papa catetannya nggak usah disetorkan. Nggak papa Dek, kan masih pertama. Buat pengalaman. Kalau kaus kaki dibilangin aja suruh pake yang dari sekolah.”
“ Oh, iya terima kasih Kak.”
Ishoma pun berakhir, materi berlanjut. Tak lama kemudian, seluruh siswa berkumpul ke halaman untuk melaksanakan apel. Apel belum terlaksana, sudah dibubarkan. Dikarenakan, kami tidak bisa mengkondisikan kegiatan apel sebagaimana mestinya. Pembina kami, Mas Arif, marah – marah pada senior kami kelas XII. Akhirnya, seluruh siswa dipulangkan.
Setelah seluruh siswa dipulangkan, kami para anggota Jawara berkumpul di sebelah selatan kantin. Aku berfirasat bahwa, pada saat ini juga kami anggota Jawara kelas X akan dimarahi habis – habisan, gara – gara ekstra pramuka hari ini gagal . Setelah kami berkumpul, kami berbaris menurut ketinggian. Setelah itu, apa yang aku perkirakan benar – benar tejadi. Awalnya, Kak Tiar, senior kami, memarahi kakak kelas XI. Setelah itu, Ayin, temanku. Setelah Ayin, giliran Caplin. Caplin dimarahi gara – gara ia kurang sopan saat ekstra.
“ Kak, ini lo Kak. Ada yang enak – enakan makan permen pas ekstra,” kata Kak Riska.
“ Mana orangnya ?” Tanya Kak Dedi.
“ Ini dia,” sahut Kak Riska sambil menunjuk ke arah Caplin.
“ Iya Plin, bener Plin ?” tanya Kak Dedi lagi.
“ Siap kak, iya,” sahut Caplin.
          Akhirnya, Caplin kena marah. Aku hanya bisa terdiam melihat teman – tamanku. Aku tidak bisa berbuat apa – apa. Sembari menghadap mentari sore, rasanya aku ikut merasakan apa yang dirasakan oleh teman - teman dan kakak - kakakku XI. Rasanya, pada saat itu juga aku ingin menitikkan air mata. Namun, disisi lain aku juga memikirkan ibuku yang sudah menungguku di gerbang sekolah. Aku nggak mau ibuku nunggu teralu lama. Akhirnya, aku minta izin ke kakak senior kelas XII untuk pulang lebih dulu.
          “ Kak, saya sudah dijemput ibu,” kataku pada Kak Dedi.
          “ Iya, silakan,” kata Kak Dedi.
          Sebenarnya, aku nggak mau pulang duluan, karena aku merasa kita itu satu keluarga. Jadi, kena marah satu kena marah semua. Tapi mau bagaimana lagi. Yang aku lihat saat itu, air mata Caplin sudah bercucuran. Aku merasa sangat kasihan padanya.
          Di rumah pun aku masih kepikiran akan hal yang terjadi padaku seharian ini. Terutama pada saat kami kena marah bersama di sebelah kantin.
          Keesokan harinya, aku menanyakan apa yang terjadi setelah aku pulang duluan kemarin pada temanku, Lia.
          “ Li, kemarin gimana? Aku tuh kemarin sebenarnya gak mau pulang duluan. Tapi aku kasihan ibuku,” tanyaku penasaran.
          “ Kemarin itu, cuma stressing biasa.,” jawab Lia
          “ Terus Caplin ?” tanyaku lagi.
          “ Caplin itu, kemarin nangis. Setelah stressing selesai, Caplin terus menangis di bahu Icang, sembari berkata bahwa nggak ada yang bisa dibanggakan darinya, air mata yang Caplin teteskan itu sampai membasahi bahu Icang,” jelas Lia.
          “ Ya ampun, masak sih?” kataku keheranan.
Mendengar cerita dari Lia, aku merasa itu hal yang lucu. Aku nggak nyangka Caplin bisa seperti itu. Tapi, air mata Caplin itu benar - benar ada.






0 comments:

Post a Comment