Hari ini adalah hari Jum’at. Sekilas tidak ada yang
istimewa di hari ini. Cuaca yang cerah, menambah semangatku untuk pergi ke
sekolah. Meskipun dalam lubuk hati yang paling dalam aku merasa bahwa hari ini
akan ada hal sial yang menimpaku. Hal itu, selain adanya ulangan matematika
yang dijadwalkan hari ini. Dan pada hari ini juga, aku ditugaskan untuk
memberikan materi pramuka pada teman sebayaku di kelas IIS 3, karena aku
merupakan salah satu anggota Jawara. Jawara adalah sebuah organisasi yang
merupakan gabungan dari PMR Wira dan Pramuka. Entah mengapa, aku punya
keminderan tersendiri untuk bisa tampil di depan umum. Salah satunya ya..
memberikan materi. Traumaku saat SMP, sampai saat ini masih membekas dan masih
belum bisa hilang. Jadi, untuk tampil di depan umum aku merasa tidak bisa
leluasa dan selalu gugup. Padahal, salah satu tujuanku mengikuti Jawara adalah
belajar bagaimana untuk percaya diri tampil di depan umum.
Sekitar
pukul 05.45 WIB, aku berangkat ke sekolah seperti biasa diantar ibuku. Untuk
mengatasi kegugupan dan keminderanku, dalam perjalanan menuju ke sekolah, aku
membaca buku tentang materi yang akan kusampaikan nanti. Tak lupa, aku juga
menghafalkan rumus – rumus matematika. Aduuuhh… lagi – lagi bikin pusing!
Tak
lama kemudian, akhirnya aku sampai di sekolah. Aku berpamitan pada ibuku dan
meminta doanya agar aku diberikan kelancaran dalam ulangan matematika ini. Saat
aku tiba di sekolah,suasana di sekolah masih sangat sepi. Aku masih tetap melanjutkan
membacaku sambil berjalan menuju gerbang sekolah.
Sekitar
pukul 06.45 kelas pun dimulai. Kelas hari ini diawali dengan Bimbingan
Konseling. Kelas berjalan seperti biasanya. Salah satu temanku di kelas,
namanya Arif. Tapi dia sering dipanggil Caplin. Dia itu sedikit lebay dan kocak.
“Eh,
teman – teman bantu aku dong. Aku mau ikut lomba nihh.. kalian gak kasihan sama
aku? ” , kata Caplin.
“
Ahh… kamu ini lebay banget sihh..”,
kata salah satu temanku.
Pada
saat istirahat, kami para anggota Jawara, aku, Caplin dan Ike berkumpul untuk breaving ekstra pramuka nanti.
“
Dek ini absensinya. Nanti tanggalnya diisi disini. Nanti kalau sudah bel pulang
langsung menuju ke kelas yang ditentukan ya..”, kata Kak Sugita selaku koordinator
pada ekstra pramuka hari ini.
“
Kak nanti saya jam terakhir ada ulangan matematika. Nanti takutnya tergesa –
gesa,” sahutku.
“
Ya gini aja dek. Kamu jadi wali kelas sama siapa aja?”
“ Sama Wahyu kak,”
“ Sama Wahyu kak,”
“
Ya udah absensinya kasihkan ke Wahyu aja,”
Setelah
breaving, kami langsung kembali
kelas.
“
Plin ayo kembali ke kelas!” pintaku pada Caplin.
“
Ayo,” jawabnya
Dan
kami pun kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran seperti semula. Dan ulangan
matematika dimulai. Ini merupakan ulangan yang pertama. Pada ulangan ini, aku
mengerjakan sebisanya. Karena kau sudah berjanji untuk nggak nyontek lagi. Ulangan belum usai, namun teman – temanku
anggota Jawara yang lain sudah berkumpul
di depan kelasku. Ini membuatku semakin panik. Karena waktunya pendek, akhirnya
untuk ulangan matematika ini, bagi yang belum selesai bisa dilanjutkan minggu
depan. Alhamdulillah...
Aku
langsung bergegas menuju ke kelas IIS 3. Di parkiran belakang kelas, kakak –
kakak seniorku menghadang teman – temanku yang mau kabur dari ekstra pramuka.
“
Ya ampun. Aku gak bakalan mau lagi kalau disuruh jadi wali kelas anak IIS,”
kataku.
“
Aku juga gak bakalan mau kalau suruh jadi wali kelas di kelas IIS. Aduh, tobat
aku,” sahut Wahyu, temanku.
Teman
– temanku di kelas IIS memang terkenal sangat bandel banget. Cuma ngatur bangku
aja, buat ngisi bangku anak laki - laki yang kosong, memakan waktu 30 menit. Ya
ampun, tobat deh kalau mengajar anak kelas IIS…
Setelah
bangkunya tertata, tak lama kemudian, waktunya bagi anak laki-laki melaksanakan
sholat Jum’at. Sedangkan aku, sendiri memimpin kelas. Karena, temanku Wahyu
harus melaksanakan sholat Jum’at. Aku memimpin teman – temanku untuk mengaji.
Setelah mengaji, aku diberikan intruksi untuk mengecek kerapian.
“
Dek, habis ngaji cek kerapian ya,? Yang dicek ikat pinggang, asduk, kaus kaki,
sama sepatu,” kata Kak Sugita .
“
Iya kak,” jawabku.
Aku
langsung mengecek kerapian. Aku mencatat beberapa anak yang ku anggap
melanggar. Seperti memakai sepatu ada putihnya dan kaus kaki pendek. Setelah
cek kerapian, ishoma selama 15 menit. Dan aku menanyakan hal itu kepada
seniorku, Kak Kholif. Ternyata, langkah yang kuambil kurang tepat.
“
Kak, kalau pake sepatu ada putihnya gimana? Terus kaus kakinya pendek gimana?
Dicatat apa nggak?”
“
Putih gimana dek? Kayak gini? Ya nggak usah lah Adek. Kalau kamu catat kamu malah kena sendiri. Sepatumu lo
talinya putih. Nggak papa catetannya nggak usah disetorkan. Nggak papa Dek, kan masih pertama. Buat
pengalaman. Kalau kaus kaki dibilangin aja suruh pake yang dari sekolah.”
“
Oh, iya terima kasih Kak.”
Ishoma
pun berakhir, materi berlanjut. Tak lama kemudian, seluruh siswa berkumpul ke
halaman untuk melaksanakan apel. Apel belum terlaksana, sudah dibubarkan.
Dikarenakan, kami tidak bisa mengkondisikan kegiatan apel sebagaimana mestinya.
Pembina kami, Mas Arif, marah – marah pada senior kami kelas XII. Akhirnya,
seluruh siswa dipulangkan.
Setelah
seluruh siswa dipulangkan, kami para anggota Jawara berkumpul di sebelah
selatan kantin. Aku berfirasat bahwa, pada saat ini juga kami anggota Jawara
kelas X akan dimarahi habis – habisan, gara – gara ekstra pramuka hari ini
gagal . Setelah kami berkumpul, kami berbaris menurut ketinggian. Setelah itu,
apa yang aku perkirakan benar – benar tejadi. Awalnya, Kak Tiar, senior kami, memarahi
kakak kelas XI. Setelah itu, Ayin, temanku. Setelah Ayin, giliran Caplin.
Caplin dimarahi gara – gara ia kurang sopan saat ekstra.
“
Kak, ini lo Kak. Ada yang enak – enakan makan permen pas ekstra,” kata Kak
Riska.
“
Mana orangnya ?” Tanya Kak Dedi.
“
Ini dia,” sahut Kak Riska sambil menunjuk ke arah Caplin.
“
Iya Plin, bener Plin ?” tanya Kak Dedi lagi.
“
Siap kak, iya,” sahut Caplin.
Akhirnya, Caplin kena marah. Aku hanya bisa terdiam melihat
teman – tamanku. Aku tidak bisa berbuat apa – apa. Sembari menghadap mentari
sore, rasanya aku ikut merasakan apa yang dirasakan oleh teman - teman dan
kakak - kakakku XI. Rasanya, pada saat itu juga aku ingin menitikkan air mata.
Namun, disisi lain aku juga memikirkan ibuku yang sudah menungguku di gerbang
sekolah. Aku nggak mau ibuku nunggu
teralu lama. Akhirnya, aku minta izin ke kakak senior kelas XII untuk pulang
lebih dulu.
“ Kak, saya sudah dijemput ibu,” kataku pada Kak Dedi.
“ Iya, silakan,” kata Kak Dedi.
Sebenarnya, aku nggak
mau pulang duluan, karena aku merasa kita itu satu keluarga. Jadi, kena marah
satu kena marah semua. Tapi mau bagaimana lagi. Yang aku lihat saat itu, air
mata Caplin sudah bercucuran. Aku merasa sangat kasihan padanya.
Di rumah pun aku masih kepikiran akan hal yang terjadi
padaku seharian ini. Terutama pada saat kami kena marah bersama di sebelah
kantin.
Keesokan harinya, aku menanyakan apa yang terjadi setelah
aku pulang duluan kemarin pada temanku, Lia.
“ Li, kemarin gimana? Aku tuh kemarin sebenarnya gak mau
pulang duluan. Tapi aku kasihan ibuku,” tanyaku penasaran.
“ Kemarin itu, cuma stressing
biasa.,” jawab Lia
“ Terus Caplin ?” tanyaku lagi.
“ Caplin itu, kemarin nangis. Setelah stressing selesai, Caplin terus menangis di bahu Icang, sembari
berkata bahwa nggak ada yang bisa dibanggakan darinya, air mata yang Caplin
teteskan itu sampai membasahi bahu Icang,” jelas Lia.
“ Ya ampun, masak sih?” kataku keheranan.
Mendengar
cerita dari Lia, aku merasa itu hal yang lucu. Aku nggak nyangka Caplin bisa seperti itu. Tapi, air mata Caplin itu
benar - benar ada.
0 comments:
Post a Comment